Sunday 30 December 2018

2018 sejauh ini....

Setelah 364 hari tidak melakukan postingan, di hari terkahir tahun 2018 ini saya memutuskan untuk melakukan postingan di blog ini.

Keadaan saat ini, saya sedang duduk di meja makan, pukul 01:10 pagi sembari menyaksikan pertandingan MU vs BOU (streaming), dan belum ada 5 menit sebelumnya saya melakukan postingan instagram mengenai snack jadul yang saya temukan di Alfamidi hari ini, yaitu Canasta. Guess what? Rasanya sama, cuma sedikit lebih tawar, mungkin kadar msg nya sudah tidak sebanyak dulu...hehehehe.

Cukup pembukaannya, sekarang lanjut ke telusur ulang dan refleksi 2018. Untuk seorang bocah yang selalu mimpi bisa naek pesawat terbang tiap bulan, 2018 itu seperti mimpi. Karena salah satu klien saya menuntut saya untuk terbang setidaknya sekali sebulan ke Surabaya. Saya yang awalnya sangat tidak awam dengan jalan-jalan di Surabaya, sekarang setidaknya saya sudah mulai paham. Di luar pekerjaan pun, saya diberi kesempatan untuk terbang ke Singapura untuk nonton konser The Killers, yang bersamaan dengan F1 Singapore Night Race. Sedangkan puncak memori adalah saya berkesempatan untuk pergi ke Amerika, mengunjungi Staples Centre dan Disneyland. Serta pengalaman kehilangan passport, sungguh suatu pengalaman yang tak akan PERNAH terlupakan. Seolah saya bisa kembali membuat cerita baru setelah pengalaman hidup luar biasa di Glasgow ketika menempuh S2, setelah sekian lama berkutat di Jakarta dengan segala rutinitasnya.

Dari sisi ego seorang David, 2018 mungkin tahun terbaik yang pernah ada setelah Glasgow. Tapi apakah ini tahun 2018 selamanya bagus? Tidak juga, banyak mimpi dan target yang masih belum tercapai, namun layaknya manusia lain, yang terlintas hanyalah memori indah. Seolah menutup dan menebus semua kegagalan atau semua gol yang todak tercapai di tahun 2018.

Di penghujung 2018 pun saya mengalami gangguan kesehatan, perdebatan dengan keluarga yang membuat resah mental saya dalam menyambut 2019. Seolah sudah puas dengan segala pencapaian dan keberhasilan 2018, saya merasa takut untuk membuka lembar baru di 2019. Ketakutkan jika tahun depan mungkin saya tidak bisa terbang lagi setiap bulan, tidak bisa nonton konser, atau bahkan tidak bisa berplesir ke tempat baru. Ketakutkan akan karir yang tidak berkembang dan kesehatan yang memburuk, serta kehidupan rutinitas Jakarta yang konstan, yang secara perlahan akan "mematikan" semangat hidup.

Beberapa hari ini saya tidak berhenti memikirkan apa yang akan terjadi tahun 2019 nanti? Apakh saya sanggup melewatinya? Bahkan kegiatan olahraga saya (gym) yang biasanya menyegarkan pikiran pun tidak berhasil menghilangkan galau pergantian tahun ini.

Seolah seperti orang yang tidak punya iman, saya hanya berpikir menggunakan otak yang pas2 an ini untuk menanggulangi segala tantangan di 2019. Sampai pada hari Minggu, 30 Des 2018. Ya, beberapa jam lalu, saya baru saja menjalani misa mingguan terkahir di 2018. Khotbah Romli sangatlah menampar saya. Sebuah kalimat yang saya sangat familiar keluar pada khotbah tersebut.

"Serahkanlah keterbatasanmu pada ketidakterbatasan Allah."

Seolah kembali diingatkan oleh Gusti Allah, saya sebenarnya tidak perlu takut menghadapi 2019. Apapun yang sudah saya jalani dari saya lahir sampai saat ini adalah persiapan untuk suatu rencana indah yang sudah disiapkan Allah. Bersandar dan bergantunglah kepada Allah, tidak ada yang mustahil bagiNya. Segala kesulitan, beban, dan khawatir mu akan diringkan olehNya.

Khotbah minggu ini adalah mengenai peringatan keluarga kudus. Ini adalah poin kedua yang menamapar saya di penghujung tahun ini. Sukses dan pencapaian saya tahun 2018 tidak ada artinya jika saya kehilangan salah satu anggota keluarga saya. Keberadaan mereka hingga saat ini adalah keberhasilan yang seharusnya saya banggakan. Saya percaya jika semua kebaikan yang terjadi kepada saya adalah ketika Tuhan mendengarkan doa orang tua saya. Yang seharusnya saya banggakan bukanlah seberapa banyak saya terbang, tapi seberapa banyak saya bisa membuat keluarga saya tersenyum, sehat, dan bahagia. Saya yakin sejauh apaun saya pergi, sesukses apapun saya nanti, tidak akan berarti tanpa support dan keberadaan orang-orang terkasih, terutama keluarga saya.

Terima kasih Gusti Allah untuk hari ini. Dengan khotbah hari ini saya sedikit lebih optimis menyambut 2019.

"Allah, terima kasih untuk hari ini. Terima kasih untuk keluargaku yang masih setia mendapingiku saat ini. Sebuah berkat yang ternilai. Terima kasih untuk segala berkat dan ujian di 2018 yang membuat kami makin dekat dengan Dikau. Semoga di tahun 2019 nanti, saya menjadi pribadi yang lebih bersandar pada Tuhan dan lebih mengandalkan Tuhan ketimbang segala keterbatasan saya. Saya yakin ini adalah bagian ziarah saya untuk mencapai sesuatu yang lebih baik yang telah disediakan Tuhan bagi saya dan keluarga saya. Say percaya 2019 akan menjadi tahun yang penuh berkat, tahun berkelimpahan rejeki, dan kasih Tuhan yang selalu menyertai kami." Amin.

Terima kasih 2018 untuk memori dan pelajarannya, 2019 I'm ready! Come what may, God speed!

-2018Editor-

1 comment:

Made Gelgel said...

ya semoga tahun ini tentu lebih baik dari tahun sebelumnya